Pengertian riba secara bahasa
Riba secara bahasa berasal dari kata:
( ربا ) رَبا
الشيءُ يَرْبُو رُبُوّاً ورِباءً زاد ونما وأَرْبَيْته نَمَّيته
Bertambah dan berkembang.[1]
Menurut Al Raghib Al
Asfahani riba berarti الزيادة sehingga ربا berarti : إذا زاد وعلى
Apabila bertambah dan meninggi [2]
Secara istilah
وَفِي الشَّرِيعَةِ: الرِّبَا: هُوَ الْفَضْلُ الْخَالِي عَنْ
الْعِوَضِ الْمَشْرُوطِ فِي الْبَيْعِ
“Dalam syariat riba adalah kelebihan yang dipersyaratkan dalam jual beli”[3]
Illat riba menurut
empat madzhab
1.
Syafi’iyah
Al Mawardi membagi riba dalam dua kategori yaitu: naqd dan nasiah
[4]
والربا من وجهين : أحدهما في النقد بالزيادة وفي الوزن والكيل ،
والآخر يكون في الدين بزيادة الأجل
Riba ditinjau dari dua hal: pertama naqd dengan penambahan dalam
timbangan dan takaran, yang kedua dalam hutang dengan penambahan waktu ( nasiah
)
2.
Hanafiyah
Illat riba menurut Hanafiyah adalah[5]:
فالعلة فيه الكيل مع الجنس ، أو الوزن مع الجنس
Illat riba adalah al
kail ( takaran ) dalam satu jenis atau al wazn ( timbangan dalam
satu jenis )
3.
Malikiyah
Illat riba menurut Malikiyah adalah:[6]
وَاعْلَمْ أَنَّ عِلَّةَ رِبَا النَّسَاءِ مُجَرَّدُ الطُّعْمِ عَلَى
غَيْرِ وَجْهِ التَّدَاوِي كَانَ مُدَّخَرًا مُقْتَاتًا
وَأَمَّا عِلَّةُ رِبَا الْفَضْلِ فَهُوَ مَا أَشَارَ إلَيْهِ
الْمُؤَلِّفُ بِقَوْلِهِ ( ص ) عِلَّةُ طَعَامِ الرِّبَا اقْتِيَاتٌ وَادِّخَار
Ketahuilah Illat dalam riba nasiah adalah at tu’mu ( segala
yang dikonsumsi ) selain yang di gunakan untuk pengobatan , sedangkan dalam
riba fadl ilatnya adalah setiap yang ditimbuna dan di timbang.
4.
Hanabilah
Illat riba menurut
Hanabilah adalah:
وكل شيء حرم فيه ربا الفضل فإنه يحرم فيه ربا النسيئة، لا العكس،
ولهذا لم يقل المؤلف في «ربا الفضل والنسيئة»؛ لأن هذا معلوم أنه متى حرم ربا
الفضل حرم ربا النسيئة.,يحرم ربا الفضل في كل مكيل وموزون بيع بجنسه[7]
“Setiap yang diharamkan dalam riba
fadl juga diharamkan dalam riba nasiah, namun tidak sebaliknya, pada setiap
yang ditimbang dan ditakar dalam jual beli sejenis.”
5.
Pendapat Sayid Sabiq
Menurut beliau illat riba adalah seperti yang disebutkan dalam
hadits nabi, sedangkan emas dan perak illatnya adalah miyar tsamaniyah(
ukuran harga )[8]
فعن أبي سعيد قال: قال رسول الله، صلى الله عليه وسلم،: " الذهب
بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد، فمن زاد أو
استزاد فقد أربى، الاخذ والمعطي سواء ".
رواه أحمد والبخاري.
Pembagian riba
Menurut DR. Muhammad Syafi’i Antonio secara garis besar riba
terbagi menjadi dua yaitu:[9]
a.
Riba dalam hutang piutang
Riba dalam hutang piutang terbagi menjadi dua yaitu riba qard
dan riba jahiliyah
b.
Riba dalam jual beli
Sedangkan riba dalam jual beli terbagi juga menjadi dua macam
yaitu: riba nasiah dan riba fadl
Pendapat penulis:
Pendapat diatas terlalu bertele-tele padahal secara jelas riba
hanya ada dua yaitu riba fadl (karena kelebihan barang dalam satu jenis)
dan karena nasiah (penangguhan
waktu). Riba dalam hutang terkait dengan nasiah kalau itu waktu dan
terkait dengan fadl kalau barang. Begitu pula dengan jual beli.
Proses pengharaman riba [10]
1.
Surat Ar Rum: 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).[11]
Ayat ini turun di Mekah (sebelum
hjrah) ayat ini tidak menyatakan keharaman riba, hanya sekedar menyatakan bahwa
Allah tidak menyukainya. Sehingga Imam At Thabari dalam tafsirnya menyebutkan
riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas yang berbunyi:
عن ابن عباس قوله:(وَما آتَيْتُمْ مِنْ رِبا لِيَرْبُوَ فِي أمْوَالِ
النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللهِ) قال: هو ما يعطي الناس بينهم بعضهم بعضا،
يعطي الرجل الرجل العطية، يريد أن يعطى أكثر منها.
Dari Ibnu Abbas berkata : “ Apa apa yang diberikan manusia kepada
orang lain berupa pemberian dengan harapan ia akan mendapatkan balasan yang
lebih banyak dari apa yang telah diberikan.[12]
2.
Surat An Nisa: 160-161
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا . وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang
Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.”
Ayat ini terkait riba yang dilakukan oleh kaum Yahudi, ayat ini hanya mengandung sindiran terhadap kaum muslimin, bila mereka melakukan seperti apa yang di perbuat oleh yahudi maka mereka akan bernasib serupa.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam
tafsirnya bahwa: [13]
أن الله قد نهاهم عن الربا فتناولوه وأخذوه، واحتالوا عليه بأنواع من
الحيل وصنوف من الشبه، وأكلوا أموال الناس بالباطل
Allah telah melarang riba terhadap kaum Yahudi, namun mereka tetap melakukannya dan mengambil harta riba dengan cara licik dan memakan harta manusia dengan bathil.
3.
Surat Al Imran: 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Imam Ar Razi menyebutkan dalam tafsirnya:
كان الرجل في الجاهلية إذا كان له على إنسان مائة درهم إلى أجل ،
فاذا جاء الأجل ولم يكن المديون واجدا لذلك المال قال زد في المال حتى أزيد في
الأجل فربما جعله مائتين ، ثم إذا حل الأجل الثاني فعل ذلك ، ثم إلى آجال كثيرة ،
فيأخذ بسبب تلك المائة أضعافها فهذا هو المراد من قوله : { أضعافا مضاعفة }
Seseorang pada zaman jahiliyah bila ia memiliki piutang kepada
orang lain sebesar 100 dirham hingga waktu tertentu, namun sampai waktu yang
ditentukan orang yang berhutang tidak dapat mengembalikannya, berkata orang
yang memberi hutang: “ Tambahlah hartamu akan aku tambah waktu pelunasannya.”
Begitu seterusnya hingga berlipat-lipat itulah maksud dari ayat.[15]
4.
Surat Al Baqarah: 278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.[16]
Imam Al Wahidi ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan:[17]
نزلت في العباس وعثمان رضي الله عنهما طلباً رباً لهما كانا قد أسلفا
قبل نزول التَّحريم ، فلمَّا نزلت هذه الآية سمعا وأطاعا ، وأخذا رؤوس أموالهما ،
ومعنى الآية : تحريم ما بقي ديناً من الرِّبا ، وإيجاب أخذ رأس المال دون
الزِّيادة على جهة الرِّبا
Ayat ini turun pada Abbas dan Utsman Radhiyallahuanhuma, ketika
mereka berdua meminta riba dalam pinjaman sebelum turun ayat pengharaman,
mereka akhirnya menaatinya dan hanya mengambil pokok dari harta mereka, makna
ayat tahrim adalah pengharaman atas harta yang tersisa dari riba, dan diwajibkan
mengambil pokok harta saja
Pendapat-pendapat tentang riba dan munaqasyahnya
a.
Yang membolehkan riba
1.
Pendapat Ibnu Abbas RA
Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak ada riba Fadl, yang
dilarang Nabi hanyalah riba nasiah seperti dalam riwayat [18]: لا
ربا إلا في نسيئة
2.
Mahmud Syaltut
Beliau berpendapat bahwa riba itu dikaitkan pengertiannya dengan urf,
ketika ayat Al Qur’an berbicara mengenai hal itu, sehingga yang dimaksud
dengan riba hanyalah yang berlipat ganda.[19]
3.
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Beliau berpendapat dalam Tafsir Al Manarnya, bahwa riba yang
diharamkan Al Qur’an adalah riba yang berlipat ganda (adhafan mudhaafah),
riba inilah yang dinamakan riba jahiliyah atau riba nasi’ah.[20]
Yang mengharamkan riba
Seluruh jumhur ulama dari empat madzhab sepakat bahwa riba nasiah
( karena penagguhan waktu ) dan riba fadl ( karena perbedaan takaran )
adalah haram hukumnya.[21]
Dalilnya adalah:
a.
Al Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ
مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.
وأحل
الله البيع وحرم الربا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ( QS. Al
Baqarah: 275 )”
b.
Pengharaman riba dalam hadits
وروى ابن مسعود رضي الله عنه قال: « لعن رسول الله صلّى الله عليه
وسلم آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه»[22]
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, ia berkata: “ Rasulullah
Shalallohu alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang diberi makan,
saksi dan penulisnya” ( HR. Muslim )
وروى الحاكم عن ابن مسعود
أن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: «الربا ثلاثة وسبعون باباً أيسرها مثل أن ينكح
الرجل أمه، وإن أربى الربا عرض الرجل المسلم»[23]
Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Shalallohu Alaihi
wasallam bersabda: “ Riba memiliki 73 pintu, yang paling ringan adalah seperti
seseorang mendatangi ibunya sendiri,
sesungguhnya riba merusak kehormatan seorang muslim”
Riba dalam perspektif non muslim [24]
Hal ini perlu dikaji karena
Islam mengormati nabi-nabi sebelum nabi Muhammad seperti: Nabi Ibrahim, Ishak,
Musa dan Isa. Dan banyak tulisan yang mencakup riba dalam agama mereka
diantaranya:
a.
Konsep riba di kalangan Yahudi
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
"Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku,
orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih
hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.“
b.
Konsep riba di kalangan Kristen
Kitab Lukas 6: 34-35
“Jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya
kehormatanmu, tetapi berbuatah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak
mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu akan sangat banyak ”.
Ayat di atas menunjukkan
dengan jelas pelarangan bunga dalam agama Kristen. Pengambilan bunga tersebut
dilarang gereja sampai abad 13.
Pada akhir abad 13 muncul aliran-aliran baru yang berusaha menghilangkan pengaruh gereja yang mereka anggap kolot, sehingga peminjaman dengan bunga berkembang luas dan pengharaman bunga dari pihak gereja pun makin kabur. Sejak itu praktek bunga merajalela dan dianggap sah di Eropa
Riba dalam perspektif ekonomi
Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah
Abstinence yang pada intinya membolehkan kreditor untuk menahan
diri (abstinence), dari memanfaatkan uang untuk kepentingan sendiri namun uang
tersebut dipinjamkan kepada orang lain yang membutuhkan, sebagai imbalannya
maka ia wajar mengambil selisih kembalian uangnya tersebut ibarat sewa. [25]
Namun pada kenyataannya kreditor hanya akan meminjamkan uang yang ia tidak gunakan dengan harapan mendapat imbalan jasa dari uang tersebut, maka dalam hal ini ia tidak bersikap abstinence (menahan diri) [26]
Riba dalam perspektif hukum positif di Indonesia
Fatwa MUI no 1 tahun 2004 menyatakan bahwa:
Pertama: pengertian bunga dan riba
1.
Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang
(qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/ hasil pokok tersebut berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan
secara pasti dimuka dan pada umumnya berdasarkan presentase.
2.
Riba adalah ziyadah (tambahan) tanpa imbalan yang terjadi
karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua : Hukum bunga
1.
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasiah, dengan demikian
praktek pembungaan uang saat ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya meskipun dilakukan oleh individu
Ketiga : bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional
1.
Untuk wilayah yang sudah ada kantor/ jaringan lembaga keuangan
syariah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/ jaringan lembaga keuangan syariah diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi dilembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip hajat/ darurat
Dalam perspektif hukum Indonesia, riba juga dengan tegas dilarang.[27]
Yaitu melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional,
NO: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan. Menetapkan : FATWA TENTANG
TABUNGAN
Pertama : Tabungan ada dua jenis:
1. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
2.
Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip
Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1.
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau
pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya mudharabah dengan
pihak lain.
3.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
4.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Bank dan fungsinya
Secara umum bank adalah lembaga keuangan yang melaksanakan tiga
fungsi utama yaitu:[28]
1.
Menerima simpanan uang
2.
Meminjamkan uang
3.
Jasa
Dalam perjalanan sejarah, bank bertujuan mencari keuntungan dari
selisih bunga yang harus dibanyarkan kepada pemberi pinjaman atau yang menitipkan
uang. Dengan bunga yang didapat dari pemberian pinjaman kepada pihak lain.[29]
Bank bebas bunga dan pendapat didalamnya
Seiring dengan ruh keislaman yang semakin mendalam dikalangan umat
islam, pemikiran kearah bank Islam menghasilkan suatu deklarasi yang dicetuskan
oleh menteri-menteri keuangan negara-negara Islam dalam pertemuan di Jeddah
tahun 1393 H atau 1973 M. dan pada tahun itu pula dibukalah Islamic Development
Bank (IDB ) berpusat di Jeddah Saudi Arabia.
Pada awalnya beranggotakan 22 negara hingga tahun 1988 berkembang
menjadi 44 negara.[30]
Perbedaan prinsip bank islam (bebas bunga) dengan bank konvensional
adalah terletak pada cara penentuan tambahan atau keuntungan, bank konvensional
menggunakan prosentase bunga, adapun bank Islam menggunakan sistem bagi hasil.
Sehingga beberapa ahli ekonomi Islam diantaranya Nadeem UI Haque
dan Abba Mizakhor berkata: “ sistem ekonomi bebas bunga adalah bagi hasil (
profit sharing )[31]
Perbedaan antara bunga bank dan bagi hasil [1]
BUNGA |
BAGI HASIL |
a.
Penentuan bunga pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
pertimbangan untung rugi. |
b.
Besarnya prosentase berdasarkan besarnya modal yang dipinjamkan |
Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. |
c.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah usaha yang dijalankan untung atau rugi. |
Bagi hasil bergantung kepada keuntungan usaha, dan bila rugi
kerugian ditanggung bersama |
d.
Jumlah pembayaran bunga oleh bank
kepada peminjam dana tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan bank
berlipat lipat. |
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan
keuntungan |
e.
Bunga akan fluktiatif sesuai fluktuasi suku bunga pasar. |
Margin tetap |
f.
Semua agama menentang |
Tidak ada yang meragukan keabsahannya. |
Alasan pembenaran riba dalam bunga bank dan bantahannya
Pembenaran bunga bank dan bantahannya seperti diungkapkan oleh DR.
Asyraf Muhammad Dawwabah beliau menyebutkan 15 alasan yang dikemukakan oleh
kalangan yang membolehkan bunga bank, namun secara umum dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.[2]
Beberapa alasan kalangan yang membolehkan riba dalam bunga bank
adalah:[3]
1.
Alasan darurat
Darurat adalah alasan yang dikemukakan kalangan yang membolehkan
bertransaksi dengan riba, karena kaidah ushuliyah mengatakan:[4]
الضرورة
تبيح المحظورات
“Darurat dapat
membolehkan yang diharamkan”
Mereka beralasan hajat manusia untuk bertransaksi dengan bunga
sangat besar sehingga tidak ada cara lain kecuali dengannya. Seperti kaidah
ushuliyah yang berbunyi:
الحاجة
تنزل منزلة الضرورة
Hajat
(kebutuhan ) dapat mengalahkan posisi
darurat
Bantahannya
a.
Darurat adalah segala sesuatu yang apa bila manusia tidak
menggunakannya maka dapat berakibat mebahayakan jiwan, akal, kehormatan, harta
dan agama ( adharuriat al khoms ), namun darurat dibatasi sesuai dengan
kadar dan waktunya, seperti kaidah:
الضرورات
تقدر بقدرها
“ Darurat itu dibatasi sesuai dengan kadarnya”
Darurat sendiri harus tetap dalam pantauan syariat.[5]
b.
Manusia ketika berhadapan dengan kondisi darurat tidaklah menyerah
begitu saja terjatuh ke haram, akan tetapi kreatif dan bersungguh sungguh tetap
dalam koridor halal.[6]
c.
Imam Al Mawardi mengatakan:
“Tidak semua masuk dalam
wilayah darurat terkait pinjaman dengan riba. Seperti pinjaman untuk
bermegah-megahan dalam pesta pernikahan, meningkatkan perdagangan dengan harta
riba. Akan tetapi riba yang bersifat darurat adalah pinjaman untuk
mempertahankan hidup karena musibah yang menimpa jiwa selama tidak ada jalan
lain kecuali riba.”[7]
2.
Berlipat ganda
Pendapat yang membolehkan riba asal tidak berlipat ganda, hal ini
seperti tercantum dalam firman Allah:[8]
يا
أيها الذين ءامنوا لا تأكل الربا أضعافا مضاعفة . واتقوا الله لعلكم تفلحون
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil
riba dengan berlipat ganda, dan
bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Bantahan:
a.
Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai
hal ( kondisi ) dan bukan syarat. Sehingga kalangan yang mensyaratkan
berlipat ganda tidaklah benar.
b.
Redaksi berlipat ganda adalah merupakan sifat riba yang mempunyai
kecenderunagn untuk terus berkembang dan berlipat sesuai waktu sehingga ini
merupakan sifat umum riba.
c.
Kontek mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) sangatlah
tidak cocok. Sehingga bila ada ayat tentang pengharaman babi
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan atas kalian darah, daging babi dan apa apa yang
disembilah bukan atas nama Allah…. ( QS. Al Maidah: 3 )
Yang diharamkan adalah dagingnya, sedangnkan jika menggunakan
mafhum mukhalafah berarti selain daging babi dibolehkan.
Begitu pula dengan pelarangan zina:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“ Dan jangan lah kalian
dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruk
jalan.” ( QS. Al Isra: 32)
Kalau ayat diatas difahami
dengan pemahaman terbalik maka akan berarti dibolehkan perbuatan-perbuatan
kerah zina, seperti khalwat dll.
3.
Badan hukum
Alasan memeperbolehkan riba karena badan hukum itu bukan manusia,
sementara dalam hukum syariat yang dikenai hukum adalah insan mukallaf.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa ketika ayat riba diturunkan tidak ada
badan hukum pada saat itu.
Bantahan:
a.
Tidak benar bahwa ketika ayat riba diturunkan tidak ada badan
hukum, dalam sejarah syakhsiyah hukmiyah adalah Rasulullah SAW. Dan hal
ini sah secara hukum[9]
b.
Bank memang bukanlah manusia mukallaf namun kegiatan di bank
menunjukkan fi’li al mukallaf (
perbuatan manusia ) maka hukumnya adalah sama.[10]
4.
Riba yang diharamkan itu dalam produksi bukan konsumsi
Kalangan yang berpendapat
bahwa riba dalam hal produksi, sedangkan dalam hal konsumsi tidaklah riba.
Bantahan:
1.
Tidak benar, karena ayat Al Qur’an yang berbicara tentang riba dikaitkan erat dengan perdagangan, dalam
perdagangan ada produksi dan ada konsumsi
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba [11]
Sehingga pendapat ini lemah dengan sendirinya.
2.
Apa bila hanya di bidang produksi saja maka Rasulullah tidak akan
melaknat pemakan riba, yang member makan, penulis dan saksinya seperti dalam
hadits.[12]
Berbagai fatwa tentang bunga bank [13]
1.
Luar negeri
a.
OKI ( Organisasi Konferensi Islam ) dalam siding pada tahun 1970,
telah memutuskan:
·
Praktek bank dengan system bunga adalah haram dan tidak sesuai
dengan syariat islam.
· Perlu dibuat segera alternatif yang menjalankan aktifitasnya sesuai dengan syariat islam.
b.
Majma’ Buhuts Al Islami ( Konsul Kajian Islam Dunia ) dalam konferensi di Mesir tahun 1965
M memutuskan bahwa tidaka ada keraguan sedikit pun tentang keharaman bunga
bank.
c.
Rabithah Alam Islami
( Liga Muslim Dunia ) memfatwakan bahwa hukum bunga bank adalah haram.
d.
Riyasah Amah Li Ad Dakwah Wal Irsyad Wal Buhuts Al Islamiyah Saudi Arabia juga berfatwa mengharamkan bunga bank.
2.
Dalam negeri
a.
Majelis Tarjih Muhammadiyah
Sidoarjo memutuskan bahwa riba bank haram hukumnya.
b.
Lajnah Bahtsul Masail NU memutuskan tiga pendapat yang pertama
bunga bank adalah haram karena seperti hutang yang dipungut oleh renternir.
Yang kedua halal, dan yang ketiga syubhat. Namun untuk kehati hatian mereka
mengambil pendapat yang pertama.
c.
Majelis Ulama Indonesia berfatwa jelas mengaramkan bunga bank
seperti dalam fatwa Fatwa MUI no 1 tahun 2004.
Hikmah pengharaman riba
1.
Dampak ekonomi
Dapat menyebankan inflasi suku bunga uang hal tersebut disebabkan
karena semakin tinggi suku bung maka semakin tinggi harga barang, dan ini
berakibat terhadap menurunnya daya beli masyarakat.
Selain itu bunga akan berdampak kepada utang, sehingga Negara berkembang akanterys berutang kepada Negara maju dengan dalih pinjaman lunak, ini menyebabkab kemiskinan stuktural dan terus menerus.
2.
Dampak sosial
Ketidak adilan dan kesenjangan sosiala akan terjadi dengan
diberlakukannya riba dalam masyarakat. Sehingga yang kaya akan semakin kaya dan
yang miskaina kan semakin miskin.
3.
Pendapat Imam Ar Razi menjelaskan mengapa Islam melarang dengan
tegas system bunga, karena bunga akan berdampak kepada:[14]
a.
Merampas kekayaan orang lain
b.
Merusak moral
c.
Melahirkan benih kebencian dan permusuhan
d.
Yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
[1] Lihat Bank Syariah Dari
Teori ke Praktik hal 61
[2] Asyraf Muhammad Dawabah, Fawaidul Bunuk Mubarrirot wa Tasaulat,
( Mesir: Dar Al Salam thn 2008 )
[3] Dawam Raharjo, The
Question of Islamic Banking in Indonesia ,
makalah ( Singapura: ISEAS 1988 )
[4] Muhammad Sidqi bin Ahmad Bin Muhammad Al Burnu, Al Wajiz Fi
Idhah QawaidAl fiqh Al Kulliyah ( Beirut: Muasasah Ar Risalah th 1422 H )
hal 234
[5] Wahbah Az Zuhaily, Nadzariyat ad dharurat as syariyah, (
Damaskus: Darul Fikr 1998 ) hal 67-68
[6] Yusuf Al Qaradhawi, Al Halal wal Haram Fil Islam, ( Kairo:
Maktabah Wahbah 1405 H ) hal 258
[7] Abul A’la Al Maududi, Ar Riba, ( Kairo: darul Qari Arabi th
1411 H ) hal 157-158 )
[8] QS. Al Imran:130
[9] Mustafa Ahmad Zarqa, Al fiqhul Islami fi Tsaubihi Al Jadid Al Madkhal Al Fiqh Al Am, ( Syiria: 1959)
cet 6
[10] Lihat Fawaidul Bunuk Mubarrirot wa tasaulat hal 102.
[11] QS. Al Baqarah: 275
[12] Lihat Fawaidul Bunuk halaman 87
[13] Lihat Bank Islam Dari Teori
ke Praktik hal 61-66
[14] Ar Razi, Tafsir Al Kabir, ( Kairo: Maktabah Al bahivah Al
Mishriyah thn 1938 M )
[1] Muhammad bin Mukarram Ibnu Mandzhur Al Afriqy Al Mishri, Lisanul
Arab ( Beirut: darus Shadir ) cet 1
tt hal 394
[2] Al Raghib Al Asfahani, Al mufradat fi gharibil qur’an, (
Mesir: Maktabah Mustafa Al Babi al Halabi wa auladuhu, t.t. hal 187
[3] As Sarakhsi, Al Mabsuth, ( Beirut: Dar Ma’rifah ) 1414 H
hal 109
[4] Abul Hasan Ali Bin Muhammad bin
Muhammad bin Habib Al Bashri Al
Baghdadi Al Mawardi, Al Hawi fi fiqh As Syafi’I, ( Libanon : Darul Kutub Al Ilmiyah th 1414H) hal 80
[5] Abu Bakar Ali Bin Muhammad Al Hadadi Al Abbadi Al Yamani Az Zabadi,
Al Jauhar An Nayyirah
[6] AL Kharasy, syarah
Mukhtashar Khalil
[7] Syaikh Utsaimin, Syarh
Mumti’ ala Zaad Mustafi,( Mesir: Dar Ibn Zauji 1422 H ) hal 339
[8] Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, ( Beirut: Darul Kutub 1497 H ) hal
136-137
[9] Lihat Bank Islam dari Teori
ke Praktek hal 41
[10] Shalah Showi dan Abdullah Muslih, Ma la yasa; At Tajiru
Jahluhu ( Saudi Arabia: Dar Muslim
th 1422 H)
[11] QS. Ar Rum: 39
[12] At Thabari, Jami’ul Bayan
Fi Tafsiril Qur’an, ( Beirut: Muasasah Ar Risalah cet 1 th 1420 H ) hal 104
[13] Ibnu Katsir, Tafsir Al
Qur’an Al Adzim, ( Darut Thayyibah thn 1420 H ) hal 467
[14] QS. Ali Imran: 39
[15] Fakhrudin Ar Razi, Mafatihul
Ghaib, ( Beirut: Dar Ihya Turats 1420 H ) hal 363
[16] QS. Al Baqarah: 278-279
[17] Al Wahidi, Al Wajiz fi
Tafsir Al Kitab Al Aziz,( Beirut: Dar Al Qalam 1415H ) ahl 193
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (
Mesir: Dar Al Kutub tt ) Juz 2 hal 96
[19] Mahmud Syaltut, Al Fatawa,( Kairo: Dar Al Qalam ), tt
[20] Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, III ( Beirut: Darul Makrifah
tt ) hal 14
[21] Lihat Bidayatul Mujtahid
Ibnu Rusyd hal 96
[22] HR. Muslim hadits no. 1597
bab Musaqah, Sunan Abi Daud no 3333.
[23] HR. Ibnu Majah dan Hakim, ia
mengatakan shahih, Sunan Ibnu Majah no. 2275 dan Mustadrak 2/37
[24] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema Insani 2011 ) hal 45
[25] Sa’ad AS Harran, Islamic
Finance Partnership Financing , ( Kuala Lumpur: Pelanduk Publication, 1993
)
[26] Lihat Bank Syariah Dari Teori ke Praktik Hal 70
[27]
Fatwa Dewan Syariah Nasional, NO: 02/DSN-MUI/IV/2000
[28] Adi Warman A. Karim,
Bank Islam Analisis Fikih Dan Keuangan, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada cet 7 thn 2012 ) hal 18
[29] Khuzaemah T. Yanggo dan Hafidz Anshari AZ, Problematika hukum
Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka
Firdaus th 2004) cet 3 hal 62
[30] Lihat Problematika Hukum
Islam Kontemporer hal 66
[31] Nadeem UI Haque dan Abbas Mizakhor, Optimal Profit Sharing
Contract and Investmen in Interest free Islamic Economy, ( Texas: The
Institute Of Research and Islamic Studies th 1987 ) Hal 143